Pages

Thursday, 13 February 2014

Stockholm Syndrome

Stockholm Syndrome adalah sebuah fenomena psikologis paradoks di mana seorang tawanan/sandera menunjukkan perasaan sayang dan keterikatan emosional pada orang yang menawan dan menganiayanya, biasanya disebabkan karena rasa ketidak berdayaan atas situasi yang dirasakan oleh sang korban.
Istilah Stockholm Syndrome mengacu pada sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 1973 di Stockholm, Swedia. Pada waktu itu, sekelompok perampok bank menyandera para pegawai bank selama 5 hari penuh. Selama 5 hari tersebut, para sandera jadi memiliki ikatan emosional dengan para penyadera mereka. Ketika para tawanan ini akhirnya dibebaskan, mereka bahkan membela para kriminal yang telah menyiksa mereka.
Fenomena psikologis ini dapat ditemukan juga dalam hubungan sosial seperti: keluarga, percintaan, persahabatan, ataupun hubungan antar individu lainnya. Dan dewasa ini, sudah sangat umum terjadi di sekitar kita.
Begitu banyak pasangan yang saya kenal langsung maupun tidak langsung, terikat belenggu Stockholm Syndrome dalam hubungannya. Ini adalah sebuah keadaan yang sangat mengerikan dan menyedihkan. Bukan saja siklus tersebut akan menghancurkan dan merusak diri kedua belah pihak, tapi juga bisa melukai orang lain di sekitar mereka.
Pembentukan Stockholm Syndrome bisa dilihat dari beberapa penyebab:
·              Adanya sebuah ancaman dan kekerasan. Tidak selalu kekerasan fisik, bisa juga penyiksaan mental, maupun emosional lewat kata-kata verbal. Biasanya sang penganiaya menjatuhkan rasa percaya diri korban dengan makian dan hinaan. Terkadang melibatkan hidup dan matinya seseorang. Seperti Dodi yang mengancam ingin bunuh diri.
·              Isolasi dan blokir secara fisik, mental, maupun emosional. Alienasi dapat dilihat dari pasangan yang sangat posesif sehingga korban tidak boleh berteman dengan orang lain sama sekali, dan semua akses informasi dipegang oleh sang penganiaya (email, facebook, YM, handphone, dsb).
·              Adanya sebentuk kebaikan dan kasih sayang yang ditunjukkan sesekali oleh sang penganiaya. Karena telah terbiasa dengan penyiksaan dan rasa sakit, sang korban jadi kecanduan dan menunggu-nunggu kapan kebaikan tersebut akan muncul. Kebaikan sang penganiaya menjadi sebuah hal yang sangat berharga baginya.
·              Sang korban menganggap diri tidak berdaya dan merasa tidak mungkin bisa keluar dari keadaan ini. Akibatnya dia jadi menutup diri dan pasrah dengan keadaan. Tidak pernah berani untuk mengambil keputusan tegas dan hanya berharap sebuah keajaiban yang akan merubah keadaan.
Akibat tidak bisa bercerita pada siapapun, karena malu, dan akses sosial yang dibatasi, maka sang korban jadi menutup diri dari orang lain. Malahan dia akan menentang orang-orang yang mencoba menolongnya keluar dari keadaan ini. Dia merasa tidak ada orang yang bisa mengerti keadaan dan perasaannya.
Ini akan berakibat fatal. Karena lambat laun, sang korban akan menerima keadaan ini sebagai kenyataan hidupnya dan merasa bahwa hanya sang penganiaya lah yang mengenal dan mengerti dirinya. Dan itu yang menciptakan ketergantungan emosional yang dalam. Sang korban menganggap hal ini adalah cinta.
Ketika hubungan sudah terjalin lama, akan makin sulit untuk melepaskan diri. Investasi emosi, tenaga, dan finansial, membuat sang korban tidak ingin meninggalkan hubungan ini. Dia harus bertahan hingga akhir. Semua demi nama cinta.
Sepanjang pengalaman saya, sangat sulit untuk menyadarkan dan menolong orang yang telah terjebak dalam siklus mengerikan ini. Korban biasanya berhasil melepaskan diri dari cengkraman Stockholm Syndrome ketika penganiayaan telah melewati ambang batas tertentu dan mengancam kelangsungan hidupnya, menyadarkan mereka akan realita hubungan yang destruktif ini.
Mereka berhasil lepas dengan membawa luka dan trauma yang membekas begitu dalam di jiwanya. Membuat mereka menjadi paranoid, penuh ketakutan, dan ketidak stabilan emosional. Sulit bagi mereka untuk bisa kembali merasakan kebahagiaan layaknya manusia normal. Kalau sudah begini, mereka akhirnya jadi cenderung melukai orang-orang yang mencintai mereka dengan tulus.


Stockholm Syndrome adalah sebuah realita yang banyak terjadi di dunia sekitar kita. Sayangnya, banyak orang melihat ini hanyalah konflik pacaran biasa. Tidak banyak yang mengerti betapa hal ini sangat merusak setiap individu yang terlibat di dalamnya. Saatnya kita membuka mata dan memikirkan kembali tentang hal ini.

No comments:

Post a Comment