Stockholm
Syndrome adalah sebuah fenomena psikologis
paradoks di mana seorang tawanan/sandera menunjukkan perasaan sayang dan
keterikatan emosional pada orang yang menawan dan menganiayanya, biasanya
disebabkan karena rasa ketidak berdayaan atas situasi yang dirasakan oleh sang
korban.
Istilah Stockholm
Syndrome mengacu pada sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 1973 di
Stockholm, Swedia. Pada waktu itu, sekelompok perampok bank menyandera para
pegawai bank selama 5 hari penuh. Selama 5 hari tersebut, para sandera jadi
memiliki ikatan emosional dengan para penyadera mereka. Ketika para tawanan ini
akhirnya dibebaskan, mereka bahkan membela para kriminal yang telah menyiksa
mereka.
Fenomena psikologis
ini dapat ditemukan juga dalam hubungan sosial seperti: keluarga, percintaan,
persahabatan, ataupun hubungan antar individu lainnya. Dan dewasa ini, sudah
sangat umum terjadi di sekitar kita.
Begitu banyak
pasangan yang saya kenal langsung maupun tidak langsung, terikat belenggu Stockholm
Syndrome dalam hubungannya. Ini adalah sebuah keadaan yang sangat
mengerikan dan menyedihkan. Bukan saja siklus tersebut akan menghancurkan dan
merusak diri kedua belah pihak, tapi juga bisa melukai orang lain di sekitar
mereka.
Pembentukan Stockholm
Syndrome bisa dilihat dari beberapa penyebab:
·
Adanya sebuah ancaman
dan kekerasan. Tidak selalu kekerasan fisik, bisa
juga penyiksaan mental, maupun emosional lewat kata-kata verbal. Biasanya sang
penganiaya menjatuhkan rasa percaya diri korban dengan makian dan hinaan.
Terkadang melibatkan hidup dan matinya seseorang. Seperti Dodi yang mengancam
ingin bunuh diri.
·
Isolasi dan blokir
secara fisik, mental, maupun emosional.
Alienasi dapat dilihat dari pasangan yang sangat posesif sehingga korban tidak
boleh berteman dengan orang lain sama sekali, dan semua akses informasi
dipegang oleh sang penganiaya (email, facebook, YM, handphone, dsb).
·
Adanya sebentuk
kebaikan dan kasih sayang yang ditunjukkan sesekali oleh sang penganiaya.
Karena telah terbiasa dengan penyiksaan dan rasa sakit, sang korban jadi kecanduan
dan menunggu-nunggu kapan kebaikan tersebut akan muncul. Kebaikan sang penganiaya
menjadi sebuah hal yang sangat berharga baginya.
·
Sang korban
menganggap diri tidak berdaya dan merasa tidak mungkin bisa keluar dari keadaan
ini. Akibatnya dia jadi menutup diri dan
pasrah dengan keadaan. Tidak pernah berani untuk mengambil keputusan tegas dan
hanya berharap sebuah keajaiban yang akan merubah keadaan.
Akibat tidak bisa
bercerita pada siapapun, karena malu, dan akses sosial yang dibatasi, maka sang
korban jadi menutup diri dari orang lain. Malahan dia akan menentang
orang-orang yang mencoba menolongnya keluar dari keadaan ini. Dia merasa tidak
ada orang yang bisa mengerti keadaan dan perasaannya.
Ini akan berakibat
fatal. Karena lambat laun, sang korban akan menerima keadaan ini sebagai
kenyataan hidupnya dan merasa bahwa hanya sang penganiaya lah yang mengenal dan
mengerti dirinya. Dan itu yang menciptakan ketergantungan emosional yang dalam.
Sang korban menganggap hal ini adalah cinta.
Ketika hubungan sudah
terjalin lama, akan makin sulit untuk melepaskan diri. Investasi emosi, tenaga,
dan finansial, membuat sang korban tidak ingin meninggalkan hubungan ini. Dia
harus bertahan hingga akhir. Semua demi nama cinta.
Sepanjang pengalaman
saya, sangat sulit untuk menyadarkan dan menolong orang yang telah terjebak
dalam siklus mengerikan ini. Korban biasanya berhasil melepaskan diri dari
cengkraman Stockholm Syndrome ketika penganiayaan telah melewati ambang
batas tertentu dan mengancam kelangsungan hidupnya, menyadarkan mereka akan
realita hubungan yang destruktif ini.
Mereka berhasil lepas
dengan membawa luka dan trauma yang membekas begitu dalam di jiwanya. Membuat
mereka menjadi paranoid, penuh ketakutan, dan ketidak stabilan emosional. Sulit
bagi mereka untuk bisa kembali merasakan kebahagiaan layaknya manusia normal.
Kalau sudah begini, mereka akhirnya jadi cenderung melukai orang-orang yang
mencintai mereka dengan tulus.
Stockholm
Syndrome adalah sebuah realita yang banyak
terjadi di dunia sekitar kita. Sayangnya, banyak orang melihat ini hanyalah
konflik pacaran biasa. Tidak banyak yang mengerti betapa hal ini sangat merusak
setiap individu yang terlibat di dalamnya. Saatnya kita membuka mata dan
memikirkan kembali tentang hal ini.
No comments:
Post a Comment